Hal yang terberat dari rindu adalah ketika rindu itu tidak bisa berkurang.
Waktu kecil, aku sangat membencimu karena aku sangat – sangat mengiginkanmu untuk ada disisku. Mengantarku berangkat sekolah, menjemputku sepulang sekolah, dan menemaniku mengerjakan tugasku. Tapi kau, tidak pernah ada, bahkan untuk mengambil rapotku. Orang lain selalu menggantikannya.
Kau pulang ketika aku terlelap dan aku berangkat ketika kau masih terlelap.
Aku benci kau yang selalu datang terlambat ketika ada acara wisata bersama dan selalu pulang terlebih dahulu sebelum acara usai. Aku benci tidak ada yang membelaku ketika aku dimarahi karena berkelahi di rumah, karena kau selalu sibuk entah dimana kala itu.
“ Andai papa bisa, pasti papa kasih semua yang kamu mau “
Andai kau tau, aku tidak menginginkan segalanya kecuali kehadiranmu. Aku selalu mendoakanmu ketika kau pergi jauh, berharap aku bisa melihatmu terlelap lagi di kasurmu. Aku tidak pernah berhenti memastikan mendengar suara nafasmu sebelum aku terlelap, memastikan esok hari aku masih bisa melihat tidurmu sebelum beranjak sekolah.
Aku tumbuh dengan penuh rasa rindu atas kehadiranmu.
“ Papa kadang nyesel, kenapa gak dari dulu ngurusin kamu sama adek “
Aku mendapati kehadiranmu baru di usia belasan tahun, ketika kau mulai sakit karena terlalu kerasnya dunia yang menjaukanmu dariku. Aku bisa mendapatimu sepulang sekolah, meski bukan di rumah, tapi di rumah sakit. Aku bisa pergi sore hari bersamamu, meski bukan untuk jalan - jalan, tapi intuk control. Setelah hari – hari itu, perlahan kau mulai sehat. Aku mendapatkan apa yang aku inginkan, kau sering mengantarkanku sekolah, menjemputku dan menemaniku belajar di ruang televisi, walau dengan volume televisi yang kerasnya bukan main. Kau bisa datang melihat pentas teater perdanaku dan mengambil hasil ujian akhirku. Bahkan kau menjadi orang yang mendengarkan dengan seksama urusan cinta monyetku.
“ Kamu, anak kesayangan Papa. “
Belum lebih dari 4 tahun aku merasakan betapa hebatnya mempunyai seorang ayah di sampingku. Belum banyak makan siang yang kita habiskan bersama. Belum banyak bola – bola kecil yang kita pukul bersama di lapangan. Belum banyak mimpi – mimpi yang kuwujudkan untukmu. Belum banyak yang bisa kau ceritakan tentang aku dengan bangganya kepada teman – temanmu. Belum banyak, waktu tidak memberikan banyak.
Terlepas dari semuanya, inilah hal yang paling kusyukuri dalam hidupku, aku bisa memanggilmu dengan sebutan “ Papa “. Maafkan aku, untuk aku yang lari dari semua kewajibanku setelah kau pergi. Maafkan aku untuk aku yang lebih banyak menangis di kamar daripada mengisi presensi di kelas. Maafkan aku, untuk aku yang berhenti melakukan segala yang aku janjikan padamu karena merasa Tuhan tidak berpihak kepadaku. Maafkan aku untuk aku yang berhenti tumbuh dan menjadi bodoh tanpamu. Aku, akan berhenti mengecewakanmu.
Aku akan beranjak dewasa dengan rasa rindu atas kehadiranmu.
Aku merindukanmu.
Tidak pernah berkurang, sedikitpun.